Salam Message


Selasa, 09 Oktober 2012

[CERPEN] Cinta dan kebahagiaan


CINTA dan KEBAHAGIAAN

Oleh: Ainun Nadliroh (XII IPA Th. 2012)
Hujan deras telah mengguyur kota Surabaya sejak sore. Udara dingin menggigil membuat Aini malas beranjak dari tempat tidur. Namun bukan itu alasan utama yang membuat dirinya memilih berlindung di balik selimut. Fikirannya masih teringat kejadian saat dia menerima kabar tentang kepergian kekasihnya. Sulit untuk menerima garis kehidupan yang menimpanya. Tak dia sadari ibunya telah berada di sisinya.
“Nak, makan dulu ya!“  bujuk wanita penuh kasih itu. Namun yang diterimanya hanyalah kebisuan. Hatinya sungguh perih melihat keadaan putrinya seperti ini. Bulir bening menetes perlahan.
“Ibu tahu kepedihan hatimu karena ibu juga merasakannya saat ayahmu pergi. Tapi kita harus sadar, Nak. Kita dititipi Allah kehidupan yang harus kita jalani.“  tutur beliau.  Aini masih terdiam. Hanya air mata kembali menetes melalui kedua pelupuk matanya yang telah sembap. “Kalau kamu seperti ini, kamu tidak hanya menyakiti diri kamu tapi juga menyakiti ibu, ibu yang mencintaimu melebihi nyawa sendiri.“ lanjut sang ibu memeluk putrinya. Keduanya hanyut dalam isakan. Aini tersadar, dalam hati ia berjanji akan bangkit dan tegar demi ibunya.
Langit cerah menaungi kota Surabaya. Seorang gadis turun dari taxi tepat di depan pagar rumahnya. Sebuah motor terparkir di halaman. Perlahan kakinya melangkah.
“Assalamu’alaikum.” sapanya.
“Wa’alaikumussalam.” Jawab seorang pemuda  yang  telah dia kenal.
“Mas Ahmad, ada apa ya?” tanyanya sembari duduk dengan perasaan heran.

Tak seberapa lama ibunya muncul membawa secangkir teh.
“Terimakasih, Bu.” kata Ahmad penuh kesopanan.
“Silahkan diminum. Ibu masuk dulu.”
Aini menjadi salah tingkah. Pemuda pendiam ini tak pernah dekat dengannya.
“Ada apa, Mas? Tumben kesini?” tanyanya. Yang ditanya malah menyeruput teh hangat dan menata posisi duduk.
“Begini Dik Aini, langsung saja tanpa basa-basi. Saya ingin meminang kamu untuk menjadi istri saya.” jelas Ahmad dengan tegas membuat Aini terkejut mendengarnya.
“Mas Ahmad serius?” tanyanya meyakinkan.
“Saya tidak akan main-main dengan masa depan saya.”
Aini sungguh bingung. Sejujurnya hati Aini belum bisa menerima siapapun sebagai pengganti Alvin, kekasihnya. Tapi dia juga tahu kalau ibunya ingin dia segera menikah. Sering beliau menyinggung masalah ini.
“Beri saya waktu untuk memikirkannya. Minggu depan Mas Ahmad bisa datang lagi.” katanya. Ahmad hanya mengangguk setuju.
Malam begitu hening. Orang-orang masih asyik bercengkrama dengan dunia mimpi. Aini duduk bersimpuh di atas sajadah biru. Air matanya mengalir perlahan. Hanya ini yang bisa dia lakukan untuk mencari jawaban kebimbangan hatinya. Tiba-tiba sebuah tangan meraih bahunya.
“Nak.” Panggil wanita berwajah teduh. “Ibu tahu hatimu belum bisa melupakan Alvin. Ibu tidak memaksa kamu menerima pinangan Ahmad. Tapi…”
“Saya tahu, Bu.” potong Aini. “Kehidupan ini terus berjalan.” lanjutnya.
“Lakukan apa  yang menurutmu baik untuk kehidupanmu. Ibu percaya kamu sudah dewasa.”
Suara jangkrik menemani munajatnya hingga matahari merekah indah.
---------------------------------
“Bismillah. Setelah berfikir selama seminggu ini saya memutuskan untuk menerima pinangan Mas Ahmad.” kata Aini lugas menjawab pinangan Ahmad. Meskipun ada perih dalam hatinya tapi dia yakin rasa perih itu akan hilang.
Satu bulan setelah pinangan, pesta pernikahan pun digelar. Rasa haru, sedih, bahagia dan berjuta harapan memenuhi hatinya. Barakallahu laka wa Baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khoir. Amin.
Kehidupan belum berakhir, sang surya masih memancarkan sinarnya. Aini menjalani kehidupan barunya bersama suami yang tidak dia cintai. Ahmad adalah suami yang bertanggungjawab, namun entah mengapa dia belum bisa menyinggahi hati istrinya.
Minggu pagi Ahmad mengajak istrinya menghadiri pesta pernikahan sahabatnya di luar kota. Aini menurut saja. Namun tak pernah dia sangka. Dia menyaksikan pemandangan yang sungguh menghancurkan hatinya. Air matanya tak dapat terbendung. Kekasih hati yang selama ini diketahuinya telah meninggal, kini bermesrahan dengan wanita yang sangat dia kenal. Wanita itu adalah atasannya saat masih bekerja di kantor. Ahmad bingung melihat air mata istrinya.
“Ada apa, Dik?” tanyanya.
Sejenak Aini memandang suaminya. Dia tersadar, begitu Allah sangat menyayanginya sehingga Dia menganugerahinya suami yang sangat baik. Kepedihan yang selama ini mengganggu hati kini telah sirna berganti rasa syukur tak terhingga.
“Nggak, Mas. Aku hanya terharu dan bersyukur menjadi istri kamu.”
Kata-kata itu begitu sejuk di hati Ahmad. Dipeluknya sang istri penuh kasih dengan berjuta syukur dan do’a.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar