Salam Message


Minggu, 10 November 2013

[ARTIKEL] SANTRI; Agent of Change

Oleh: Ahmad Zainal Musthofah*


“Kondisi yang heterogen dalam dunia pondok pesantren memberikan sebuah peluang pembelajaran yang multikural, baik pendidikannya maupun dalam pergaulan masyarakat pesantren. Dengan  kondisi yang multikultural, proses interaksi dengan orang lain, dan mempelajari watak dari setiap orang memberikan peluang setiap orang untuk berkembang, baik cara berpikir, bertingkahlaku, dan memutuskan sesuatu.”


Sepanjang pengetahuan yang telah tersebar selama ini di kalangan akademisi, aktivis, intelektualis, sepertinya hanyalah mahasiswa yang 'paling pantas' diposisikan sebagai penyandang gelar istilah agent of change (agen perubahan). Padahal, stigma tersebut juga berpotensi besar dimiliki oleh lembaga pendidikan non-formal yang berbasis keagamaan, seperti halnya pondok pesantren. Nilai-nilai sejarah perjuangan panjang nenek moyang bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, demi kepentingan politik ada yang rela membangun doktrin sejarah bahwa, perjuangan politik mencapai kemerdekaan tidak lebih dari perjuangan bersenjata.
Peran penting lembaga berbasis keagamaan ini dalam sejarah nasional yang pantasnya mendapat penghargaan besar. Tapi, kenapa justru mendapat ketidak-aku-an pemerintah. Dalam konteks perjuangan melawan pemerintah kolonial, pesantren mampu mencetak pejuang-pejuang pergerakan nasional, seperti halnya, tokoh-tokoh; Soekarno, Sjahrir, dan Bung Tomo dengan organisasinya Boedi Utomo yang melahirkan kesepakatan bersama para pemuda-pemudi dalam wadah Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober. Lebih parah lagi, lembaga berlatar belakang tradisi multikultural ini sempat pula dicurigai sebagai sarang kejumudan, konservatisme, ini menjadi penghalang besar bagi usaha-usaha pembangunan yang digalakkan pemerintah sekitar tahun 1970-an hingga akhir tahun 1980-an. Baru-baru ini, sekitar tahun 2004-an ke belakang, ada hal yang menyedihkan dengan munculnya stigma, bahwa pesantren disebut sebagai sarang teroris.

Minggu, 03 November 2013

[INFO] Lomba OnLine SANTRINESIA

SANTRINESIA, Santri untuk Indonesia
Yogyakarta, 1-7 Desember 2013

Dalam rangka HARLAH ke-6 CSS MoRA, kami sebagai panitia SANTRINESIA mempersembahkan berbagai macam lomba, yaitu ;

a)      ESSAY
TEMA: "TOLERANSI KEBANGSAAN"
Subtema: 1) Membumikan nilai-nilai kerukunan dalam konteks keindonesiaan.
2) Pengaruh dunia pendidikan terhadap pembentukan masyarakat yang berkarakter dalam menghargai perbedaan.
3) Nilai-nilai humanis yang terdapat dalam pesantren dan hubungannya dalam upaya pembentukan bangsa yang harmonis

Kategori Peserta Lomba: PELAJAR - MAHASISWA

Minggu, 28 April 2013

[INFO] Brosur Yayasan Pon. Pes. Manba'ul Hikam Sidoarjo

Brosur PP Manba'ul Hikam Sidoarjo (Depan)
Brosur PP Manba'ul Hikam Sidoarjo (Belakang)
Penerimaan Peserta Didik Baru.
Gel. I: 4 Mei 2013-21 Juni 2013
Gel. II: 23 Juni 2013-8 Juli 2013

Check In: Jum'at, 5 Juli 2013.
Pukul 08.00 WIB-17.00 WIB




[WAWASAN] Sejarah Singkat Berdirinya Pesantren Salafiyah SABIILUL MUTTAQIIN Yogyakarta



          Pada awal berdirinya Hari Kamis Pahing, 6 September 1990.Pesantren Salafiyah Sabiilul Muttaqiin diberinama oleh Khadlrotusy Syekh KH. Akhmad Musaddad Faqih Al-Bantani ( Pengasuh Pesantren As- Salafiyah Banten dan Mursyid Thoriiqoh Al – Qodiriyyah wan naqsyabandiyyah )  dengan Majelis Dzikir dan Jurus Pemahaman Sabiilul Muhtadiin. Majelis ini dirintis mulai tahun 1986.
          Majelis ini dirintis dan  didirikan Oleh KH. Roikhan Zainal Arifin Al Makky yang kemudian oleh para santri saat ini dipanggil dengan panggilan Abah ( Ayahanda ).Dari garis Ibu beliau adalah cicit / buyut dari Simbah Ketib Cendono( Reh Kawedanan Kapengulonan Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat) KH. ‘Abdush-Shomad Dipodiningrat, sedang dari garis ayah beliau adalah cicit / buyut dari  Sayyid. ‘Abdurrokhman Bad.
          Santri / jama’ahnya pada saat itu sebagian besar sudah berkeluarga dan  berasal dari berbagai kalangan seperti ; Guru, Pegawai Negeri, Mahasiswa, Wiraswasta, buruh, ABRI – POLRI, dan lebih khusus adalah orang orang yang masih suka melakukan Bid’ah dan Syirik serta orang – orang yang dikategorikan sebagi pelaku kejahatan dan pelaku segala bentuk kemakshiyatan yang ingin bertobat dan mencari pencerahan jiwa.
          Amaliyahnya dilaksanakan rutin tiap malam Kamis di dalam majelis ini adalah dzikir Qodiri dan Naqsyabandi seperti yang pernah dipelajari oleh Abah pada guru – guru yang terdahulu, Khusunya kepada Khadlrotusy Syekh KH. Utsman Abidin        ( Pesantren Al – Markhamah, Petamburan, Jakarta ) seorang Ulama sekaligus Mursyid Thoriiqoh Qoodiriyyah Naqsyabandiyyah.
          Pertengahan tahun 1992 kegiatan amaliyah rutin untuk sementara waktu berhenti ( Vakum ) karena berbagai macam kesibukan dan tugas  dari para santri, dan abah sendiri waktu itu juga melanjutkan untuk mengaji. Namun disepakati oleh para santri pertemuan / amaliyah dilaksanakan hanya  pada setiap Malam Kamis Pahing   ( 35 hari sekali ), dengan maksud agar supaya jangan sampai terputus Silaturrakhim.
           Pada tahun 1996 diadakan usaha perintisan kembali setelah Abah selesai mengaji ilmu Mu’amalah kepada Khadlrotusy Syekh KH. Khozin Mansur ( Pesantren Mamba’ul Khikam, Tanggul Angin Sidoarjo Jawa Timur ) dengan cara mengumpulkan santri yang sudah ada, namun tidak berhasil dikarenakan banyak yang sudah keluar dari wilayah DIY dan bahkan ada pula yang sudah meninggal dunia.