CINTA dan KEBAHAGIAAN
|
Hujan deras telah
mengguyur kota Surabaya sejak sore. Udara dingin menggigil membuat Aini malas beranjak
dari tempat tidur. Namun bukan itu alasan utama yang membuat dirinya memilih berlindung
di balik selimut. Fikirannya masih teringat kejadian saat dia menerima kabar tentang
kepergian kekasihnya. Sulit untuk menerima garis kehidupan yang menimpanya. Tak
dia sadari ibunya telah berada di sisinya.
“Nak, makan dulu
ya!“ bujuk wanita penuh kasih itu. Namun
yang diterimanya hanyalah kebisuan. Hatinya sungguh perih melihat keadaan putrinya
seperti ini. Bulir bening menetes perlahan.
“Ibu tahu kepedihan
hatimu karena ibu juga merasakannya saat ayahmu pergi. Tapi kita harus sadar,
Nak. Kita dititipi Allah kehidupan yang harus kita jalani.“ tutur beliau.
Aini masih terdiam. Hanya air mata kembali menetes melalui kedua pelupuk
matanya yang telah sembap. “Kalau kamu seperti ini, kamu tidak hanya menyakiti diri
kamu tapi juga menyakiti ibu, ibu yang mencintaimu melebihi nyawa sendiri.“ lanjut
sang ibu memeluk putrinya. Keduanya hanyut dalam isakan. Aini tersadar, dalam hati
ia berjanji akan bangkit dan tegar demi ibunya.
Langit cerah menaungi
kota Surabaya. Seorang gadis turun dari taxi tepat di depan pagar rumahnya.
Sebuah motor terparkir di halaman. Perlahan kakinya melangkah.
“Assalamu’alaikum.”
sapanya.
“Wa’alaikumussalam.”
Jawab seorang pemuda yang telah dia kenal.
“Mas Ahmad, ada
apa ya?” tanyanya sembari duduk dengan perasaan heran.
Tak seberapa
lama ibunya muncul membawa secangkir teh.
“Terimakasih,
Bu.” kata Ahmad penuh kesopanan.
“Silahkan diminum.
Ibu masuk dulu.”
Aini menjadi salah
tingkah. Pemuda pendiam ini tak pernah dekat dengannya.
“Ada apa, Mas? Tumben
kesini?” tanyanya. Yang ditanya malah menyeruput teh hangat dan menata posisi duduk.
“Begini Dik Aini,
langsung saja tanpa basa-basi. Saya ingin meminang kamu untuk menjadi istri saya.”
jelas Ahmad dengan tegas membuat Aini terkejut mendengarnya.
“Mas Ahmad
serius?” tanyanya meyakinkan.
“Saya tidak akan
main-main dengan masa depan saya.”
Aini sungguh bingung.
Sejujurnya hati Aini belum bisa menerima siapapun sebagai pengganti Alvin,
kekasihnya. Tapi dia juga tahu kalau ibunya ingin dia segera menikah. Sering beliau
menyinggung masalah ini.
“Beri saya waktu
untuk memikirkannya. Minggu depan Mas Ahmad bisa datang lagi.” katanya. Ahmad
hanya mengangguk setuju.
Malam begitu hening.
Orang-orang masih asyik bercengkrama dengan dunia mimpi. Aini duduk bersimpuh
di atas sajadah biru. Air matanya mengalir perlahan. Hanya ini yang bisa dia lakukan
untuk mencari jawaban kebimbangan hatinya. Tiba-tiba sebuah tangan meraih bahunya.
“Nak.” Panggil wanita
berwajah teduh. “Ibu tahu hatimu belum bisa melupakan Alvin. Ibu tidak memaksa kamu
menerima pinangan Ahmad. Tapi…”
“Saya tahu,
Bu.” potong Aini. “Kehidupan ini terus berjalan.” lanjutnya.
“Lakukan apa yang menurutmu baik untuk kehidupanmu. Ibu percaya
kamu sudah dewasa.”
Suara jangkrik menemani
munajatnya hingga matahari merekah indah.
---------------------------------
“Bismillah. Setelah
berfikir selama seminggu ini saya memutuskan untuk menerima pinangan Mas
Ahmad.” kata Aini lugas menjawab pinangan Ahmad. Meskipun ada perih dalam hatinya
tapi dia yakin rasa perih itu akan hilang.
Satu bulan setelah
pinangan, pesta pernikahan pun digelar. Rasa haru, sedih, bahagia dan berjuta harapan
memenuhi hatinya. Barakallahu laka wa Baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khoir.
Amin.
Kehidupan belum
berakhir, sang surya masih memancarkan sinarnya. Aini menjalani kehidupan barunya
bersama suami yang tidak dia cintai. Ahmad adalah suami yang bertanggungjawab,
namun entah mengapa dia belum bisa menyinggahi hati istrinya.
Minggu pagi
Ahmad mengajak istrinya menghadiri pesta pernikahan sahabatnya di luar kota.
Aini menurut saja. Namun tak pernah dia sangka. Dia menyaksikan pemandangan
yang sungguh menghancurkan hatinya. Air matanya tak dapat terbendung. Kekasih hati
yang selama ini diketahuinya telah meninggal, kini bermesrahan dengan wanita
yang sangat dia kenal. Wanita itu adalah atasannya saat masih bekerja di
kantor. Ahmad bingung melihat air mata istrinya.
“Ada apa, Dik?”
tanyanya.
Sejenak Aini memandang
suaminya. Dia tersadar, begitu Allah sangat menyayanginya sehingga Dia menganugerahinya
suami yang sangat baik. Kepedihan yang selama ini mengganggu hati kini telah
sirna berganti rasa syukur tak terhingga.
“Nggak, Mas.
Aku hanya terharu dan bersyukur menjadi istri kamu.”
Kata-kata itu begitu sejuk di hati Ahmad. Dipeluknya
sang istri penuh kasih dengan berjuta syukur dan do’a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar