Salam Message


Jumat, 15 Juni 2012


Irshad Manji, warga negara Kanada, Director of the Moral Courage Project di New York University dievakuasi oleh Polisi saat FPI membubarkan acara kuliah umum dan peluncuran buku "Allah, Liberty, and Love, Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan" di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Jumat (4/5/2012).

Mengkritisi Pemikiran Irshad Manji

Nama Irshad Manji belakangan mulai santer diberitakan. Bulan Juni 2011, ia meluncurkan buku terbarunya, Allah, Liberty, and Love, di Amerika, Kanada, dan negara lainnya. Awal bulan ini, Mei 2012, Manji hadir ke Indonesia untuk mendiskusikan pemikiran-pemikirannya.
Beberapa forum diskusi yang hendak mengundangnya sebagai pembicara, baik di Solo, Jakarta, maupun yang terakhir di Yogyakarta, diwartakan dipaksa bubar oleh sejumlah ormas Islam.
Maklum saja, pandangan Irshad Manji amat keras dan kontorversial bagi mereka yang tak terbiasa dengan kritik “liar”. Bagaimana Tuhan bisa memberi toleransi kepada seorang lesbian? Agama mana yang menghalalkan homoseksualitas?
Kehadiran Manji boleh jadi adalah cobaan bagi kekuatan iman Muslimin Indonesia. Juga, ujian bagi kedewasaan: menyikapi orang yang berbeda, secara ekstrim sekalipun. Manji adalah orang asing, hidup dan menghadapi problem yang berbeda secara tajam dengan konteks Indonesia. Dan oleh karena itu, ia otomatis tak berpandangan sama dengan kebanyakan Muslim Indonesia.
Empat Catatan

Penulis tidak akan membahas sesat-tidaknya Manji. Penulis hanya ingin mengajukan empat catatan tentang Manji. Mungkin ini bisa sedikit menjadi urun-rembug dari penulis kepada mereka yang “gerah” dengan kehadiran Manji di Indonesia.
Pertama, Manji lahir di Uganda dan dididik dalam sistem pendidikan madrasah yang berpaham keagamaan sangat skripturalistik dan kaku. Bacalah bukunya, The Trouble with Islam Today,buku yang sudah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa (edisi Indonesia berjudul “Beriman Tanpa Rasa Takut). Dengan membaca buku itu, Anda akan tahu bagaimana gejolak batin Manji yang—tak bisa dimungkiri—turut disulut oleh sistem keagamaan yang mengekangnya. Ibarat per, semakin ditekan, maka daya resisten baliknya akan semakin kuat mementalkannya. Itu yang dalam banyak hal terjadi pada Manji.
Kedua, mayoritas fenomena keagamaan yang dikritik Manji adalah model keislaman di Timur Tengah. Berulangkali Manji dalam bukunya mengutuk keras praktek hukum rajam warisan budaya Arab. Juga tentang kewajiban hijab, burqa, dsb. Juga tentang keharusan memisahkan mana entitas Arab dan mana Islam yang otentis. Juga tentang kesetaraan Gender, dan hak hidup seorang lesbian-homoseks.
Sayangnya, Manji belum pernah lama mengalami bagaimana Islam dipraktekan di Indonesia. Madrasah Manji tentu saja berbeda dengan pesantren-pesantren di Indonesia. Andai saja Manji tumbuh besar di Indonesia, penulis yakin ia tidak akan berpandangan seekstrim itu. Pembubaran diskusi yang diselingi dengan takbir juga, dalam beberapa hal, boleh jadi justru merusak citra Islam-Indonesia yang relatif menghargai keragaman budaya.
Ketiga, pemikiran Manji sebenarnya biasa saja, dalam arti sudah kerap mengemuka dalam wacana Islam liberal di Indonesia. Kritik-kritiknya tidak sedikit yang berdasar semata pada analisis logika, tanpa landasan akademis yang kuat. Manji lebih kerap membaca buku-buku tentang Islam terjemahan karya ulama-ulama garis keras. Manji mungkin belum pernah membaca khazanah kepustakaan Islam yang penuh dengan beragam pendapat fikih. Manji tidak menguasai gramatika bahasa Arab. Manji berangkat dari kelompok aktivis, bukan akademisi dan ilmuwan sosial.
Yang membuat geram banyak orang hanyalah—wallahu a’lam—bahwa Manji adalah seorang lesbian. Demikianlah, publik cenderung melihat “siapa” yang mengatakan, bukan “apa” yang dikatakan.
Keempat, jika Manji—taruhlah—memiliki “kelainan” dalam keyakinan Islamnya, bukankah lebih baik diajak untuk bicara secara baik-baik? Pembubaran diskusi mungkin akan berhasil menghentikannya untuk sementara. Namun tulisan-tulisan dan wacana yang digulirkannya tetap bisa diakses banyak pembaca. Argumentasi tidak akan luntur dengan pembubaran diskusi. Argumentasi seharusnya dilawan juga dengan argumentasi. Otak bukan dilawan dengan otot.
Maka, upaya yang justru lebih efektif adalah: mengkritisi pemikiran Manji, membalik propagandanya, menghadang laju pemikiran kontroversialnya yang simplistis memandang Islam seolah hanya dipraktekan di Timur Tengah—bukan dengan dibubarkan. Hal itu, pada hemat penulis, adalah sikap yang lebih sehat. Pemikiran Manji tidak akan mudah memengaruhi mereka yang imannya sudah kuat.
Kasus Manji ini juga sekaligus menjadi batu uji terhadap pemahaman kita tentang hak setiap manusia untuk mengutarakan pendapatnya. Juga, ujian bagi Indonesia yang konon bukan negara Islam dan menghargai kebebasan berpendapat.
Azis Anwar Fachrudin, Koordinator Forum Studi Arab dan Islam (FSAI), Yogyakarta
Note: Artikel ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat [14/05/2012]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar