Apa
itu Salafi???
Kata salafi adalah sebuah bentuk
penisbatan kepada as-salaf. Kata as-salaf sendiri secara bahasa
bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.
Adapun makna terminologis as-salaf
adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah SAW dalam
haditsnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang
mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi’at tabi’in).”
(HR. Bukhori dan Muslim).
Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud
dengan as-salaf adalah para sahabat Nabi SAW, kemudian tabi’in (pengikut
Nabi SAW setelah masa sahabat), lalu tabi’at tabi’in (pengikut Nabi SAW
setelah masa tabi’in, termasuk didalamnya para Imam Madzhab karena mereka
semua hidup di tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah SAW). Oleh karena itu,
ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan Al-Qurun
Al-Mufadhdholah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan). Sebagian Ulama’
kemudian menambahkan label ash-shalih-sehingga menjadi as-salafu
ash-shalih- untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang
lain yang datang sesudah generasi tiga kurun ini (yang kemudian dikenal dengan al-khalaf).
Sehingga, seorang salafi berarti seseorang yang mengaku mengikuti jalan para
sahabat Nabi SAW, tabi’in dan tabi’at tabi’in dalam seluruh sisi
ajaran dan pemahaman mereka.
Sampai di sini, tampak jelas bahwa sebenarnya
tidak ada masalah dengan arti salafi ini, karena pada dasarnya setiap
muslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi SAW dan dua generasi
terbaik umat islam sesudahnya; tabi’in dan tabi’at tabi’in. Atau
dengan kata lain seorang muslim mana pun sebenarnya sedikit banyak memiliki
kadar ke”salafi’an dalam dirinya,
meskipun ia tidak pernah menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi. Sebab, maksud dari salafi itu sendiri sebenarnya adalah Islam. Begitu juga dengan pengakuan kesalafian seseorang, tidak pernah dapat jaminan bahwa yang bersangkutan benar-benar telah mengikuti jejak para as-salafu ash-shalih. Ini sama persis dengan pengakuan kemusliman siapa pun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka.
meskipun ia tidak pernah menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi. Sebab, maksud dari salafi itu sendiri sebenarnya adalah Islam. Begitu juga dengan pengakuan kesalafian seseorang, tidak pernah dapat jaminan bahwa yang bersangkutan benar-benar telah mengikuti jejak para as-salafu ash-shalih. Ini sama persis dengan pengakuan kemusliman siapa pun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan belaka.
Namun demikian, saat ini penggunaan istilah
Salafi menjadi tercemari. Karena propaganda yang begitu gencar, istilah Salafi
saat ini menjadi mengarah kepada kelompok gerakan Islam tertentu, di mana
kelompok tersebut getol melakukan klaim dan mengaku-aku sebagai satu-satunya
kelompok salaf. Terlebih lagi, mereka cenderung menyimpang dari ajaran Islam
yang benar yang dianut oleh mayoritas umat Islam dari sejak zaman Rasulullah
SAW hingga saat ini.
‘Salafi’
nama lain dari Wahabi
Siapakah sebenarnya kelompok yang mengklaim
sebagai ‘Salafi’ yang akhir-akhir ini mulai marak? Kelompok yang sekarang
mengaku-aku sabagai Salafi ini, dahulu dikenal dengan nama Wahabi. Tidak ada
perbedaan antara Salafi yang ini dengan Wahabi. Kedua istilah itu ibarat dua
sisi pada sekeping mata uang. Satu dari sisi keyakinan dan padu dari segi
pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan Wahhabiyah
Hanbaliyah. Namun, ketika diekspor ke luar Saudi, mereka mengatasnamakan
dirinya dengan ‘Salafi’, khususnya setelah bergabungnya Muhammad Nashiruddin
al-Albani, yang mereka pandang sebagai Ulama’ ahli hadits. Pada hakikatnya,
mereka bukanlah Salaf. Mereka lebih tepat jika disebut Salafi Wahabi, yakni
pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab yang lahir di Uyainah, Najd, Arab Saudi
tahun 1115 Hijriah (1703 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi).
Pendiri Wahabi ini sangat mengagumi Ibnu Taimiyah, seorang Ulama’ kontroversial
yang hidup di abad ke-8 Hijriyah dan banyak mempengaruhi cara berpikirnya.
Wahabi berganti baju menjadi Salafi atau
terkadang “Ahlussunnah” –yang seringnya tanpa diikuti dengan kata “wal
jama’ah”-, karena mereka risih dengan penisbatan tersebut dan mengalami
banyak kegagalan dalam dakwahnya. Hal itu diungkapkan oleh Prof. Dr. Sa’id
Ramadhan al-Buthi dalam bukunya, as-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah
La Madzhab Islami. Dia mengatakan bahwa, Wahabi mengubah strategi dakwahnya
dengan berganti nama menjadi ‘Salafi’ karena mengalami banyak kegagalan dan
merasa tersudut dengan panggilan nama Wahabi yang dinisbatkan kepada
pendirinya, yakni Muhammad ibnu Abdul Wahab. Oleh karena itu, sebagian kaum
muslimin menamakan mereka dengan Salafi Palsu atau Mutamaslif.
Untuk menarik simpati umat Islam, Wahabi
berupaya mengusung platform dakwah yang sangat terpuji yaitu, memerangi
syirik, penyembahan berhala, pengkultusan kuburan dan membersihkan Islam dari
bid’ah dan khurafat. Namun mereka salah kaprah dalam penerapannya, bahkan dapat
dibilang, dalam banyak hal mereka telah keluar dari ajaran Islam itu sendiri.
Tidak ada satu pun riwayat shahih yang sampai
kepada kita menerangkan bahwa ada di antara sahabat Nabi SAW, Ulama’ Salaf dan
Imam Mujtahid (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad ibnu Hambal,
Imam ats-Tsauriy dan lainnya) yang menyebut diri mereka dan para pengikutnya
sebagai kelompok Salafi. Hingga para Imam ahli hadits sekalipun –seperti Imam
Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi dan yang lainnya-, tidak
ada yang menyebut dirinya sebagai Salafi.
Sebagai sebuah bahasa, kata “salaf” –yang berarti
pendahulu- sudah lama muncul dalam khasanah pembendaharaan kata dalam agama
Islam, bahkan sejak zaman Nabi SAW, tetapi tidak untuk arti “sekelompok orang
yang memiliki keyakinan sama” atau sebuahmadzhab dalam Islam. Sebagai
contohnya, lihat saja misalkan ucapan salam yang diajarkan Nabi SAW kepada umatnya saat berziarah kubur yaitu, “Assalamualaikum
yaa ahla al-qubur yaghfirullahu lana wa lakum antum salafuna wa nahnu bi
al-atsar".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar