Oleh: Ahmad Zainal Musthofah*
“Kondisi yang heterogen dalam dunia
pondok pesantren memberikan sebuah peluang pembelajaran yang multikural, baik
pendidikannya maupun dalam pergaulan masyarakat pesantren. Dengan kondisi yang multikultural, proses interaksi
dengan orang lain, dan mempelajari watak dari setiap orang memberikan peluang
setiap orang untuk berkembang, baik cara berpikir, bertingkahlaku, dan memutuskan
sesuatu.”
Sepanjang
pengetahuan yang telah tersebar selama ini di kalangan akademisi, aktivis,
intelektualis, sepertinya hanyalah mahasiswa yang 'paling pantas' diposisikan
sebagai penyandang gelar istilah agent of change (agen perubahan).
Padahal, stigma tersebut juga berpotensi besar dimiliki oleh lembaga pendidikan
non-formal yang berbasis keagamaan, seperti halnya pondok pesantren.
Nilai-nilai sejarah perjuangan panjang nenek moyang bangsa Indonesia dalam
merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, demi kepentingan politik ada yang
rela membangun doktrin sejarah bahwa, perjuangan politik mencapai kemerdekaan
tidak lebih dari perjuangan bersenjata.
Peran penting lembaga berbasis
keagamaan ini dalam sejarah nasional yang pantasnya mendapat penghargaan besar.
Tapi, kenapa justru mendapat ketidak-aku-an pemerintah. Dalam konteks
perjuangan melawan pemerintah kolonial, pesantren mampu mencetak
pejuang-pejuang pergerakan nasional, seperti halnya, tokoh-tokoh; Soekarno,
Sjahrir, dan Bung Tomo dengan organisasinya Boedi Utomo yang melahirkan kesepakatan
bersama para pemuda-pemudi dalam wadah Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28
Oktober. Lebih parah lagi, lembaga berlatar belakang tradisi multikultural ini
sempat pula dicurigai sebagai sarang kejumudan, konservatisme, ini menjadi
penghalang besar bagi usaha-usaha pembangunan yang digalakkan pemerintah
sekitar tahun 1970-an hingga akhir tahun 1980-an. Baru-baru ini, sekitar tahun
2004-an ke belakang, ada hal yang menyedihkan dengan munculnya stigma, bahwa pesantren
disebut sebagai sarang teroris.
Akibat, tidak banyak yang mengenal
sosok, seperti, KH. Wahab Chasbullah dari Tambakberas, Jombang, KH. Hasyim
Asy'ari dari Tebuireng, Jombang, dalam konteks keperjuangannya yang keras telah
mampu memobilisasi massa menyerang tentara asing yang ingin menduduki
pemerintahan di wilayah Surabaya dan sekitarnya. KH Wahab Chasbullah yang sejak
di Mesir menjadi pengikut Sarikat Islam (SI) telah mendirikan Madrasah
Nahdhatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) di Surabaya. Madrasah yang menjadi
kawah candradimuka generasi muda ini berkembang pesat sampai Gresik, Malang,
Pasuruan, Semarang, Sidoarjo dan Lawang. Satu tahun kemudian, tepatnya tahun
1918, beliau juga mendirikan Organisasi Sosial Ekonomi bernama Nahdhatut Tujjar
(Kebangkitan Para Pedagang). Organisasi inilah yang nantinya menjadi embrio dan
berkembang menjadi Nahdlatul Ulama’, bahkan menjadi dapur pemikiran NU sendiri.
Organ-organ ini, meski berlatar belakang pesantren, jika pandang dari sisi
waktu maupun pengaruhnya, tidak kalah dibanding dengan organisasi-organisasi
seperti yang digagas Bung Tomo dan kawan-kawan dalam memperjuangkan bangsa tercinta
ini.
Untuk itulah, merubah kembali
paradigma lama dengan yang baru adalah suatu keharusan. Artinya, bukan hanya
mahasiswa saja yang pantas dan mampu untuk diikutsertakan sebagai salah satu
subyek pembangunan bangsa saat ini, melainkan lembaga dengan latar belakang
kultural, non-formal ini pun layak digabungkan dalam golongan agent of
change. Bahkan, jika dilihat dari sejarah tradisi perjuangannya yang
panjang, jelas-jelas lembaga pesantren telah membuktikan dirinya mampu menjadi agent
of change.
Sebuah kontribusi persembahan
lembaga pesantren yang jarang ditempatkan pada wilayah strategis dalam setiap
pembangunan nasional. Akan pula menjadi referensi perbandingan di mata
pemerintah dalam membangun kembali bangsa Indonesia ke depan. Karena, tanpa
adanya campur tangan dari lembaga-lembaga seperti pesantren yang memilki
legitimasi tradisi kebudayaan yang kuat, bisa dimungkinkan tidak akan bisa
berjalan mulus pembangunan tersebut. Usaha-usaha pembangunan memang dapat
mengabaikan kebudayaan, namun usaha-usaha itu tidak bisa mengabaikan kenyataan
bahwa pembangunan mempengaruhi kebudayaan, atau dipengaruhi oleh kebudayaan.
Sebagaimana diungkapkan Gus Dur
dalam buku “Menggerakkan Tradisi” (Yogyakarta: LKiS, 2007), anggapan bahwa
pesantren adalah sarang kejumudan, konservatisme, menjadi penghalang besar bagi
usaha-usaha pembangunan nasional adalah tidak tepat. Karena, pesantren adalah
sangat dinamis, bisa berubah dan mengubah karena memiliki dasar-dasar kuat
untuk ikut mengarahkan dan menggerakkan perubahan dalam konteks pembangunan bangsa
ke depan.
Pendidikan pondok pesantren di
nusantara ini adalah model pendidikan yang sangat tertua dan telah banyak
mencetak orang-orang besar di negeri ini. Pesantren pada masa awal telah
memberikan kontribusi dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pondok
pesantren sebagai basis pertahanan untuk menentang dan bahkan ikut berjuang
dalam mengusir penjajah. Perkembangan dan perubahan arah dunia saat ini menjadi
sebuah masalah pada lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren. mulai dari
kebijakan pemerintah sampai perkembangan teknologi informasi menyebabkan dalam
iklim mikro lembaga pendidikan terjadi perubahan dan bahkan membawa bencana.
Dengan itu lembaga pendidikan islam harus mampu menghadapi perubahan tersebut
dan melakukan persaingan.
Pondok pesantren dari dahulu sampai
sekarang adalah lembaga pendidikan yang senantiasa mencetak pemimpin-pemimpin
yang akan dapat menjadi figur saat mereka keluar dari pondok pesantren, baik
menjadi seorang tokoh nasional, politisi, sastrawan, menteri, dan atau bahkan
presiden. Karena masa depan kebangkitan umat manusia tergantung sejak saat ini
dan tergantung kualitas manusia yang memimpin yang dipersiapkan oleh
lembaga-lembaga pendidikan kepemimpinan. Pemimpin yang dilahirkan pondok
pesantren adalah pemimpin yang mempunyai kredibilitas dan integritas diri dalam
memegang amanah kepemimpinan. Artinya dapat menciptakan pemimpin yang religius
dan menjalankan amanah rakyat.
Kondisi pondok pesantren di
Indonesia yang menganut sistem asrama dan pemondokan, menjadikan pondok
pesantren dihuni oleh berbagai macam asal-usul santri dan karakter santri. Ini
menjadikan pondok pesantren dihuni oleh multikultural etnis dan budaya. Dalam
masyarakat yang multikultural, setiap individu santri diajarkan bagaimana
menghargai orang lain, dan memposisikan diri tidak sesuai dengan dirinya
sendiri, tapi dengan mempertimbangan kepentingan orang lain juga.
Pondok pesantren dengan dunia
multikulturalnya telah dapat mengajarkan pada anak bangsa untuk memimpin.
Walapun beberapa orang masih memandang sinis terhadap kehidupan dan pendidikan
pondok pesantren dan menganggap mengekang hak asasi mereka, padahal pondok
pesantren merupakan benteng pertahanan moral pemimpin masa depan. Proses
pembelajaran kepemimpinan di pondok pesantren telah di mulai sejak mereka masuk
dalam pondok pesantren. pada tingkat pertama mereka harus dapat mengatur
dirinya sendiri, mulai dari bangun tidur sampai bangun lagi, mencuci baju,
mandi, dan mengurus keperluan mereka sendiri. Pada tingkat atas mereka sudah
memulai memimpin adik-adik kelas, baik sebagai pengurus di madrasah maupun di
pondok.
Pesantren
sendiri telah sejak lama memegang sistem kepengurusan yang 'sangat demokratis'
yang saat ini menjadi topik perbincangan aktual setiap bangsa. Sistem
kepengurusan pesantren adakalanya berbentuk sederhana, di mana kiai memegang
kepimpinan mutlak dalam segala hal. Sedangkan, kepemimpinan itu sering kali
diwakilkan kepada santri senior selaku "lurah pondok". Dalam
pesantren yang telah mengenal bentuk organisasi yang lebih komplek, peranan
"lurah pondok" ini digantikan oleh susunan pengurus lengkap dengan
pembagiaan tugas masing-masing walaupun adakalanya ketuanya masih dinamai
"lurah pondok" juga. Walaupun telah berbentuk sebuah pengurus yang
bertugas melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan jalannya pesantren
sehari-hari, kekuasaan mutlak senantiasa masih berada di tangan sang kiai. Dan,
sekalipun susunan pimpinan pesantren masih terdapat jarak tak terjembatani
antara kiai serta keluarganya di satu pihak dan para asatidz serta santri di
lain pihak, kiai bukan primus intern, melainkan bertindak sebagai pemilik
tunggal (director eigenaar).
Eksistensi
pesantren, sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola kehidupan
umum di negeri ini; dalam sejarah kehidupan bangsa ini adalah merupakan hal
sangat penting. Dimulai sejak kemunculannya hingga masa-masa berikutnya.
Dehidrasi kontribusi, yaitu minimnya andil yang diberikan oleh sebagian besar
pejabat masa ini terhadap perkembangan dan kemandirian bangsa. Kebanyakan para
pejabat sekarang adalah mereka yang sengaja memanfaatkan
jabatan demi keuntungan dan kepentingan pribadi. Harapan rakyat Indonesia akan
lahirnya pemimpin yang dapat membawa negeri ini menjadi bangsa yang besar.
Karena saat ini sebagai bangsa yang besar, kita lebih banyak memiliki sosok
pemimpin dengan jiwa pecundang yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi.
Sangat sulit dan sedikit sekali ditemukan pemimpin dengan jiwa pemenang yang berjalan sesuai dengan keinginan, harapan dan
impian rakyatnya.
Maka, masa sekarang ini perlu
adanya dobrakan-dobrakan para pejabat baru yang berlatar belakang pesantren
yang telah bisa hidup bermasyarakat dalam dunia heterogen. Dalam Islam, seorang pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam
menjalankan kepemimpinannya, yakni : Shiddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah
(STAF). (1) Shiddiq (jujur) sehingga pemimpin dapat dipercaya; (2) Tabligh
(penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi dengan rakyat; (3) Amanah
(bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya; (4) Fathanah (cerdas)
dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya. Jika
dicermati, sikap-sikap yang ingin ditanamkan dalam kepemimpinan secara
terintegrasi dari dahulu sampai saat ini telah dilakukan oleh pondok pesantren.
Oleh karena itu, pondok pesantren adalah tempat yang paling memungkinkan untuk
melakukan pembelajaran kepemimpinan. Lembaga pendidikan di luar pondok
pesantren sangat susah mendapatkan jaminan, karena kondisi dan situasi
pelaksanaan dan penerapannya pada pemuda dan pemudi tidak akan pernah efektif.
Sebenarnya,
setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik
dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas segala
kepemimpinannya. Seperti sabda Nabi Muhammad saw. yang masyhur dan tak
asing lagi bagi kita berikut:
وعن
ابن عمر رضي اللَّه عنهما قال : سمِعتُ رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم
يقول : « كُلُّكُم راعٍ ، وكُلُّكُمْ مسؤولٌ عنْ رعِيتِهِ : الإمامُ راعٍ
ومَسْؤُولٌ عَنْ رعِيَّتِهِ ، والرَّجُلُ رَاعٍ في أهلِهِ وَمسؤولٌ عنْ
رَعِيَّتِهِ ، وَالمَرأَةُ راعيةٌ في بيتِ زَوجها وَمسؤولةًّ عَنْ رعِيَّتِها ،
والخَادِمُ رَاعٍ في مال سَيِّدِهِ وَمَسؤُولٌ عَنْ رَعِيتِهِ ، وكُلُّكُم راع
ومسؤُولٌ عَنْ رعِيَّتِهِ » متفقٌ عليه .
Merujuk pada statemen Bahtiar
Effendy (1995), bahwa santri, sebagai sosok yang lahir dari pesantren,
merupakan salah satu sarana pendukung kemandirian dan pembaharuan di bangsa ini
yang menyelimuti pejabat-pejabat di negeri ini. Jiwa kemandirian dan kesederhanaan
yang dimiliki oleh warga pesantren mengajarkan bagaimana menjadi sosok yang
berdikari dan merakyat. Gus Dur berstatemen bahwa: “sumbangsih yang telah
diberikan pesantren bagi bangsa ini telah sangat besar. Karena itu pesantren
perlu mendapatkan perhatian, agar perannya dalam mengisi pembangunan nasional
semakin dirasakan masyarakat”. Di antara sumbangsih nyata dari pesantren
terhadap kemandirian bangsa ini adalah output yang lahir dari “rahim”
beberapa pesantren di Indonesia. Banyak tokoh bangsa yang berlatar belakang
pesantren.
Reformulasi peran santri Indonesia sebagai
agent of change (agen perubahan) dalam mengawal perjalanan panjang bangsa
ini ke depannya. Potensi dan peran pesantren sebagai lembaga pendidikan non
formal yang berbasis keagamaan cukup besar, didirikan secara mandiri oleh dan
untuk masyarakat, sangat berperan dalam pembentukan moral bangsa. Konfigurasi
kongkretnya adalah dengan melakukan optimalisasi peran santri dan pesantren
yang ke depan bisa menjadi dan mencetak sosok pemimpin yang bersahaja dan
sederhana serta tak ingin diperlakukan istimewa. Semoga. Wallahu A’lam.
Selamat menghayati makna Hari
Pahlawan 2013,
para santri Nusantara. Para
pengubah takdir Indonesia...!!!
*Alumni PP Manba’ul
Hikam, Sidoarjo, sekarang di Komunitas Penelitian dan Penulisan Ilmiah (KOPPI)
CSS MoRA UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tinggal di PP Pangeran Diponegoro,
Sleman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar