Oleh: Ahmad Zainal Musthofah*
“Perjuanganku
lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri.”
(Bung
Karno)
Agaknya hal inilah yang saat ini
mendera bangsa Indonesia. Bukan musuh dari luar melainkan bangsa Indonesia itu
sendiri yang menjadi musuh untuk satu sama lain.
Memasuki
bulan November, aura kebangsaan dan kepahlawanan sudah sangat terasa di
Indonesia. Itu disebabkan karena setiap tanggal 10 November bangsa Indonesia
memperingati Hari Pahlawan. Pada tanggal itu, pemerintah dan instansi-instansi
terkait di dalamnya akan menyelenggarakan upacara dan mengheningkan cipta
sejenak untuk mengenang pengabdian para pahlawan yang berperang bertaruh nyawa
untuk kemerdekaan Indonesia. Ditetapkannya tanggal 10 November sebagai Hari
Pahlawan, karena pada tanggal tersebut para pejuang kita bertempur mati-matian
untuk melawan tentara penjajah di Surabaya.
Pertempuran ini merupakan simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap penjajah. Kini zaman penjajahan telah berlalu. Bangsa Indonesia telah merdeka dari jeratan agresor bangsa asing. Namun harus diakui dengan jujur bahwa bangsa ini pada hakikatnya belum sepenuhnya merdeka. Hal ini mengingat banyaknya problematika yang sangat pelik yang melilit dan menjajah bangsa ini, mulai dari kemiskinan hingga tindakan korupsi yang tak kunjung henti. Bangsa ini masih dijajah oleh para koruptor yang sesungguhnya adalah “putra-putri” bangsa ini.
Pertempuran ini merupakan simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap penjajah. Kini zaman penjajahan telah berlalu. Bangsa Indonesia telah merdeka dari jeratan agresor bangsa asing. Namun harus diakui dengan jujur bahwa bangsa ini pada hakikatnya belum sepenuhnya merdeka. Hal ini mengingat banyaknya problematika yang sangat pelik yang melilit dan menjajah bangsa ini, mulai dari kemiskinan hingga tindakan korupsi yang tak kunjung henti. Bangsa ini masih dijajah oleh para koruptor yang sesungguhnya adalah “putra-putri” bangsa ini.
Koruptor
adalah musuh nyata (penjajah) bagi bangsa Indonesia. Para koruptor yang
dijuluki “tikus berdasi” masih tetap menggerogoti bangsa ini. Para koruptor
tumbuh subur, patah tumbuh hilang berganti di berbagai lembaga, mulai dari
centra kekuasaan negara seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga
tingkat kelurahan, bahkan sampai tingkat RT sekalipun. Koruptor telah ada sejak
negeri ini merdeka, mulai dari Orde Lama, Orde Baru hingga masa Reformasi.
Bahkan yang sangat memperihatinkan adalah di masa reformasi ini para koruptor
malah semakin mengganas dan kronis.
Pada
tahun 2010 tercatat ada tiga kasus besar yang menonjol ketika itu, yakni
pemberian dana talangan Rp. 6,7 triliun untuk Bank Century, mafia pajak yang
melibatkan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, dan pembagian
cek perjalanan saat pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia tahun
2004. Para koruptor muncul silih-berganti dan semakin mengganas bahkan
bertambah banyak setiap tahunnya. Sampai pada tahun 2012 ini, kita dihebohkan
oleh kasus korupsi wisma atlet, proyek hambalang dan kasus simulator SIM
Korlantas Polri.
Tindakan
korupsi telah memusnahkan harapan dan impian berjuta anak bangsa di negerinya
sendiri. Akses pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat mengerdil akibat
terampasnya hak-hak mereka oleh ulah
saudara sebangsa setanah airnya sendiri. Perjuangan melawan korupsi ini menjadi
lebih berat karena yang akan dihadapi adalah “putra-putri” bangsa ini. Tindakan
korupsi yang terjadi di negeri ini membutuhkan perjuangan anak bangsa. Perjuangan
yang takkan pernah berhenti selama hayat masih dikandung badan. Generasi bangsa
saat ini harus berjuang sebagaimana para pahlawan bangsa ini telah berjuang.
Apapun posisi kita di negeri ini tetap berperan penting dalam berjuang melawan
tindakan korupsi di Indonesia.
Setiap
zaman memang selalu menghadirkan tantangan yang berbeda pula. Zaman kita saat
ini tidaklah sama dengan zaman sebelum kemerdekaan. Ketika negara ini sudah
merdeka secara de facto dan de jure sejak tahun 1945 yang lalu, apakah negara ini
tidak menciptakan bibit-bibit pahlawan baru? Jika dulu para
pendahulu kita menjadi pahlawan karena merebut kemerdekaan, maka kini kita
harus menjadi pahlawan dalam pemberantasan korupsi. Walau dalam konteks
berbeda, namun memiliki cita-cita mulia nan luhur yakni untuk membangun negeri
yang bernama Indonesia, seperti tema peringatan Hari Pahlawan pada tahun 2012
ini “Semangat Kepahlawanan Untuk Indonesia Sejahtera”. Karenanya, sebutan
pahlawan pantas diperuntukkan bagi setiap orang yang berperang melawan korupsi.
Dengan pemahaman ini, kiranya gelar “pahlawan” dapat disandang oleh setiap anak
negeri yang telah berjuang memberantas tindakan korupsi yang telah mengakar dan
menjalar di negeri ini.
Dalam
hal ini, setiap anak bangsa harus giat melakukan gerakan-gerakan anti korupsi
dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar, karena setiap anak bangsa
bertanggungjawab dalam mengajak pada kebaikan dan melarang berbuat keburukan. Tentunya
perjuangan melawan korupsi ini dilakukan sesuai dengan kapasitas kita
masing-masing. Bagi pemimpin dan penegak hukum, berkewajiban menegakkan
keadilan, jangan hanya bergairah ketika mengadili anak negeri yang dituduh
mencuri sandal jepit dan lemah tak berdaya ketika mengusut dan mengadili kasus
korupsi besar seperti kasus Bank Century, Wisma Atlet, proyek Hambalang, serta
beberapa kasus korupsi besar lainnya.
Kita
berharap peringatan Hari Pahlawan tahun 2012 ini tidak hanya menjadi upacara
seremonial dengan pelaksaan Hening Cipta yang hampa makna belaka. Mudah-mudahan
melalui peringatan Hari Pahlawan ini, semangat dan jiwa perjuangan para pejuang
bangsa ketika melawan penjajah dapat mengalir dalam darah anak bangsa dalam
memerangi tindakan korupsi. Sehingga akan lahir para pahlawan baru yang siap
berkorban jiwa dan raga demi terciptanya cita-cita luhur, Indonesia bebas
korupsi. Merdeka. Semoga. Wallahu A’lam.
Selamat
menghayati Hari Pahlawan, para putra-putri bangsa!
*Santri PP. Manba’ul Hikam Sidoarjo dan
anggota KOPPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar